Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Jumat, 25 Februari 2011

PASANG SPEAKER AKTIF MOBIL

buat loe-loe yang suka blenk-blenk'an di mobil ane punya sedikit info yang mungkin nyleneh tapi ok banget bro kalo loe coba.
langsung aja ya gan kita oprek tentang pemasangan speaker aktif ke mobil tanpa harus menguras strum dari aki mobil kamu.
1. siapin aki motor
2. speaker aktif
3. tekad dan niat
cara perakitan :
1. buka speaker aktif (biasanya dari belakang), setelah kamu buka pasti kamu akan melihat rangkaian adaptor dari AC ke DC
2. potong dan buang adaptor, jadi tinggal dua kabel untuk arus DC saja.
3. sambungin aja tu kabel ke aki motor yang berukuran kecil.
4. loe tes dulu dah. tu speaker mau idup g. kalo indikator lampu speaker udah nyala berarti udah bisa di gunakan.
5. letakan aki motor itu kedalam speaker aktif (sesuaikan ukuran) tapi jangan lupa sebelum dimasukin jangan lupa pasang colokan buat nge-cas ntu aki.
6. selamat ber ajep-ajep di mobil. dan yang pastinya loe g usah kawatir dengan aki mobil kamu
(kalo loe kreatif loe bisa kembangin sendiri ide tersebut)

METODE PEMBELAJARAN YANG BAIK

Dewasa ini, banyak orang tua yang bingung dengan cara guru melaksanakan pembelajaran di sekolah anak-anaknya karena caranya yang berbeda dengan cara yang diterapkan guru jaman dulu ketika orang tua sekolah. Ada yang tidak setuju ketika anak-anaknya diajak guru keluar kelas untuk memetik berbagai jenis daun, atau bercerita di bawah pohon rindang, atau memanen ikan sambil menghitung dan kemudian mengolah hasil tangkapannya. “Kok anak-anak hanya bermain saja, tidak belajar?” Begitu biasanya pertanyaan beberapa orang tua.

Banyak orang tua yang masih beranggapan bahwa belajar itu seharusnya hanya di ruang kelas, di mana anak-anak duduk tekun mendengarkan gurunya menjelaskan setiap mata pelajaran. Bahkan untuk pendalamannya, anak seharusnya diberi pekerjaan rumah (PR). Ternyata, banyak juga guru yang berpendapat demikian. Apakah benar bahwa seperti itulah metode pembelajaran yang baik? Bagaimanakah metode pembelajaran yang baik itu?

Metode pembelajaran yang baik seharusnya selaras dan mendukung pencapaian tujuan kurikulum yang baik. Di Indonesia, kurikulum sekolah harus selaras dengan Undang-Undang Sisdiknas pasal 3 nomor 20 tahun 2003, yang pada intinya adalah mengamanat kepada setiap sekolah untuk melaksanakan pendidikan secara holistik dengan cara mengembangkan seluruh potensi peserta didik. Dengan kata lain, metode pembelajaran yang baik bukan hanya mengembangkan aspek kognitif atau akademik saja, tetapi juga harus mampu membentuk manusia utuh (whole person) yang cakap dalam menghadapi dunia yang penuh tantangan dan cepat berubah, serta mempunyai kesadaran spiritual bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan (the person within a whole) (Megawangi, Latifah, Dina, 2004).


Dengan demikian, orang tua dan guru harus menyadari bahwa metode pembelajaran yang baik harus mampu mengembangkan seluruh potensi anak secara holistik. Artinya, seluruh dimensi perkembangan anak dikembangkan. Perlu diketahui pula bahwa hasil studi mutakhir (Megawangi, dkk., 2004) menunjukkan bahwa seluruh dimensi perkembangan anak tersebut (fisik, sosial, emosi, dan kognitif/akademik) terjadi secara simultan dan terintegrasi; tidak masing-masing berdiri sendiri. Dengan kata lain, perkembangan salah satu aspek dipengaruhi oleh aspek yang lainnya. Sebagai contoh, anak yang perkembangan sosialnya kurang baik, cenderung tidak disukai oleh teman-temannya. Kondisi ini akan mempengaruhi kemampuannya dalam bekerja dan belajar kelompok dan membuat anak merasa tidak nyaman berada di lingkungannya. Akhirnya, proses belajarnya terganggu dan prestasi pun tidak baik.

Berdasarkan paparan di atas, maka sangat penting bagi para pendidik untuk menyadari pentingnya konsep pendidikan anak secara holistik, yaitu konsep pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi anak dan metode pembelajarannya disajikan secara terintegrasi dan menyenangkan bagi anak sehingga anak dapat terkembangkan berbagai potensinya secara simultan. Hal ini sesuai dengan pemikiran para pakar dan pendidik yang bergabung dalam NAEYC (National Association for the Education of Young Children) di AS (yang beranggotakan lebih dari 100.000 orang dari berbagai negara) yang menekannkan bahwa pendidikan harus sesuai dengan konsep Developmentally Appropriate Practices (DAP) (Megawangi, dkk., 2004).

Metode pembelajaran yang sejalan dengan konsep DAP adalah metode pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. Metode ini, selain sesuai dengan tahapan perkembangan anak, juga memperhatikan keunikan setiap anak. Metode pembelajaran dengan konsep DAP dianggap dapat mempertahankan, bahkan meningkatkan gairah belajar anak-anak. Konsep DAP memperlakukan anak sebagai individu yang utuh (the whole child) yang melibatkan empat komponen, yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sifat alamiah (dispositions), dan perasaan (feelings); karena pikiran, emosi, imajinasi, dan sifat alamiah anak bekerja secara bersamaan dan saling berhubungan. Dengan kata lain, metode pembelajaran yang baik adalah metode pembelajaran yang dapat melibatkan semua aspek ini secara bersamaan, sehingga perkembangan intelektual, sosial, dan karakter anak dapat terbentuk secara simultan (Megawangi, dkk., 2004).

Telah disebutkan bahwa pendidikan di sekolah seharusnya bertujuan untuk membangun manusia holistik. Agar tujuan itu tercapai, maka prinsip pendidikan harus mengacu kepada prinsip-prinsip pembelajaran yang dapat mengarahkan proses pembelajaran secara efektif. Berdasarkan hasil studi pustaka dari berbagai sumber, maka dapat disimpulkan bahwa ada tiga prinsip pembelajaran efektif bagi pendidikan terutama di tingkat dasar (Megawangi, dkk., 2004) :

1.
Pembelajaran memerlukan pastisipasi aktif para siswa (belajar aktif). Motivasi belajar akan meningkat kalau siswa terlibat aktif (mempraktekan) dalam mempelajari hal-hal yang konkrit, bermakna, dan relevan dalam konteks kehidupannya.

2.
Setiap anak belajar dengan cara dan kecepatan yang berbeda

3.
Anak-anak dapat belajar dengan efektif ketika mereka dalam suasana kelas yang kondusif (conducive learning community), yaitu suasana yang memberikan rasa aman dan penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.


Ketiga prinsip pembelajaran tersebut didukung oleh beberapa hasil riset otak yang mempunyai implikasi terhadap pendidikan. National Research Council (1999) dalam Megawangi, dkk. (2004) mengumpulkan dan mengkompilasikan berbagai hasil riset otak yang harus menjadi acuan bagi para pendidik agar proses pendidikan dapat berjalan dengan efektif. Beberapa hasil riset tersebut adalah :

1. Proses belajar melibatkan seluruh dimensi manusia (tubuh, pikiran, dan emosi)
2. Faktor emosi sangat berperan dalam mempengaruhi sistem limbik otak yang dikenal sebagai otak emosi. Sistem limbik ini berperan dalam memfilter segala macam persepsi yang masuk. Apabila persepsi yang masuk berupa ancaman, ketakutan, kesedihan, maka bagian batang otak yang merupakan otak reptil (binatang) akan lebih berperan sehingga seseorang akan berada dalam modus bertahan atau menyelamatkan diri. Suasana di kelas tradisional yang kaku akan menurunkan fungsi otak menuju batang otak, sehingga anak tidak bisa berpikir efektif. Sedangkan dalam kondisi yang menyenangkan, aman, dan nyaman akan mengaktifkan bagian neo-cortex (otak berpikir), sehingga dapat mengoptimalkan proses belajar dan meningkatkan kepercayaan diri anak.
3. Informasi yang menarik dan bermakna akan disimpan lebih lama dalam memori, sedangkan informasi yang membosankan dan tidak relevan, akan mudah dilupakan.
4. Kaitan erat antara aspek fisiologi, emosi dan daya ingat mempunyai implikasi penting bagi proses belajar, yaitu : suasana belajar yang menyenangkan, melibatkan seluruh aspek sensori manusia (panca-indera), relevan atau kontekstual, dan yang terpenting, proses belajar harus memberikan rasa kebahagiaan.
5. Manusia akan lebih mudah mengerti kalau terlibat secara langsung dalam mengerjakannya, atau dengan ingatan spatial (bentuk atau gambar).


Hasil studi Lewis dan Schaos (1996) dalam Megawangi, dkk. (2004) menunjukkan bahwa suasana kelas yang kondusif akan mempunyai dampak yang positif motivasi dan kemampuan anak. Adapun ciri-ciri kelas yang kondusif sehingga membuat para siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi, berani mencoba (risk-taker), dan menjadi pembelajar sejati adalah sebagai berikut :

*
Adanya pendidikan karakter secara eksplisit, sehingga akan terbentuk sikap anak yang saling menghormati, saling menghargai, bertanggung jawab, dan sebagainya.

*
Adanya peraturan dan kode etik yang dibuat dengan kesepakatan seluruh kelas dan dipatuhi dengan baik.

*
Hubungan antar siswa saling mendukung, tidak terlihat adanya persaingan antar siswa yang tidak sehat.

*
Adanya rasa saling percaya dan saling menghormati antar siswa dan guru. Guru menghormati dan memperlakukan siswa dengan baik.

*
Guru berusaha mengenal siswa secara pribadi dan mengetahui keunikan masing-masing siswa.

*
Guru bertindak sebagai fasilitator yang memberikan peluang berinisiatif bagi siswa dan memotivasi siswa untuk tertarik pada materi pelajaran.

*
Guru selalu siap untuk merencanakan kegiatan harian yang dapat menstimulasi seluruh dimensi perkembangan siswa.

*
Setiap siswa merasa bahwa keberadaannya sebagai anggota kelas diterima dan dihargai.

*
Setiap siswa merasa terlibat dalam pengambilan keputusan, dan para siswa berpartisipasi aktif dalam proses belajar.

*
Adanya kesempatan bagi para siswa untuk belajar dalam kelompok sehingga siswa dapat belajar bagaimana berinteraksi secara positif.

*
Iklim belajar yang menyenangkan; tidak ada tekanan dan beban yang berlebihan, tetapi siswa-siswa tercelup dalam kegiatan belajar secara intensif.

*
Iklim belajar yang memberikan peluang bagi siswa untuk membuat kesalahan sebagai bagian alami dalam proses belajar (tidak memvonis siswa yang belum menguasai pelajaran), sehingga para siswa bisa menjadi risk-taker, dan mempunyai motivasi untuk mempelajari hal-hal yang baru dan sulit.

Dari paparan tersebut di atas, maka kita sebagai orang tua dapat menilai apakah metode pembelajaran di sekolah anak-anak kita sesuai atau tidak dengan ketiga prinsip pembelajaran efektif ? Apakah proses pembelajarannya mempertimbangkan berbagai hal sesuai dengan hasil riset otak ? Apakah suasana kelasnya cukup kondusif bagi proses pembelajaran yang efektif ? Mengacu kepada indikator-indikator di atas, maka kita dapat menilai bagaimana praktek pendidikan di sekolah-sekolah di Indonesia. Sekarang kita dapat menilai apakah tindakan benar jika guru mempermalukan anak di depan kelas, memarahi atau bahkan menghukumnya? Hal ini dapat menyebabkan anak malu untuk mengungkapkan pikirannya di muka umum, dan menjadi tidak percaya diri. Selain suasana kelas yang tidak kondusif, sejak kecil anak-anak kita juga di “vonis” dengan adanya sistem ranking di kelas, sehingga ada istilah “mendapatkan ranking” (sepuluh besar) atau “tidak masuk ranking”. Sebagian besar anak kita sudah divonis bodoh sejak kecil karena hanya sedikit saja yang mendapat ranking. Terlebih jika anak sering dihukum dan dikritik oleh gurunya. Kondisi seperti ini akan membuat anak-anak kita menjadi individu-individu yang tidak memiliki rasa percaya diri atau malas untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Mungkin hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa kualitas SDM Indonesia berdasarkan Human Development Index (HDI) cukup memprihatinkan?

Jika banyak guru yang mengajar di kelas dengan suasana yang tidak kondusif, maka hal itu bukan semata kesalahan guru, tetapi merupakan kesalahan sebuah sistem pendidikan yang orientasinya kepada mengejar keberhasilan akademik, yaitu sistem yang mengejar target kurikulum sekolah dengan segenap jadwal tes harian, ulangan umum, dan ujian akhir. Padahal menurut Megawangi, dkk. (2004), untuk anak-anak usia dini, yang terpenting adalah ditanamkan sikap agar anak selalu cinta belajar, bukan semata-mata harus bisa. Jika harus bisa (dengan mengadakan ulangan atau tes), suasana belajar menjadi penuh beban, sehingga otak limbik anak tertutup, yang akhirnya membuat anak tidak dapat mencapai potensi optimalnya.

Nah, bagaimana pendapat Anda sekarang tentang metode pembelajaran anak Anda di sekolah? Apakah belajar itu harus selalu di ruang kelas dengan suasana yang membosankan? Apakah sekolah anak Anda sudah menerapkan metode pembelajaran yang baik? Silakan Anda menilainya.

Referensi :

Megawangi, R; M. Latifah; W.F. Dina. 2004. Pendidikan Holistik : Aplikasi KBK untuk Menciptakan Lifelong Learners. Indonesia Heritage Foundation.

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

A. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif

Abdurrahman dan Bintoro memberi batasan model pembelajaran kooperatif sebagai pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang silih asah, silih asih, dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup dalam masyarakat nyata (Nurhadi dan Senduk, 2003: 60).

Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang diupayakan untuk dapat meningkatkan peran serta siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, serta memberikan kesempatan kepada para siswa untuk berinteraksi dan belajar secara bersama meskipun mereka berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda.

B. Landasan Teoritis Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif didasarkan teori konstruktivistik, bahwa siswa dapat menemukan dan memahami konsep-konsep yang dipelajari dengan cara mongkonsrruksi pengalamannya. Usaha untuk mengkonsrruksi pengalaman akan lebih mudah dilakukan jika mereka melakukannya dengan bekerja sama. Menurut Arends (2008: 37), akar intelektual pembelajaran kooperatif berasal dari tradisi pendidikan yang menekankan pemikiran dan praktis demokratis: belajar secara aktif, perilaku kooperatif, dan menghormati pluralisme di masyarakat yang multikultural.

C. Unsur-unsur Pokok Model Pembelajaran Kooperatif

Ada 4 unsur pokok model pembelajaran kooperatif, yaitu: 1. adanya peserta dalam kelompok, 2. adanya aturan kelompok, 3. adanya upaya belajar setiap anggota kelompok, dan 4. adanya tujuan yang akan dicapai (Sanjaya, 2009: 241).

1. Adanya Peserta dalam Kelompok

Peserta pembelajaran kooperatif adalah para siswa yang melakukan kegiatan belajar secara berkelompok. Pengelompokan siswa bisa dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, misalnya minat, bakat kemampuan akademis, dst. Pertimbangan apapun yang dipilih dalam mengelompokkan siswa, tujuan pembelajaran harus yang diutamakan.

2. Adanya Aturan Kelompok

Aturan kelompok merupakan sesuatu yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat, baik siswa sebagai peserta didik maupun siswa sebagai anggota kelompok.

3. Adanya Upaya Belajar Setiap Anggota Kelompok

Upaya belajar merupakan segala aktivitas siswa untuk meningkatkan kemampuan, baik kemampuan yang telah dimiliki, maupun kemampuan yang baru. Aktivitas belajar siswa dilakukan secara berkelompok, sehingga diantara mereka terjadi saling membelajarkan melalui tukar pikiran, pengalaman, maupun gagasan.

4. Adanya Tujuan yang Akan Dicapai

Aspek tujuan dalam model pembelajaran ini dimaksudkan untuk memberikanb arah pada perencanaan, pelaksanaan, dan juga evaluasi. Dengan adanya tujuan yang jelas, setiap anggota kelompok dapat memahami sasaran setiap aktivitas belajar.

D. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat elemen-elemen yang saling berhubungan. Elemen-elemen yang sekaligus merupakan karakteristik pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut: saling ketergantungan positif, interaksi tatap muka, akuntabilitas individual, dan keterampilan hubungan antar pribadi (Nurhadi dan Senduk, 2003: 60). Berikut penjelasan untuk masing-masing elemen.

1. Saling Ketergantungan Positif

Saling ketergantungan positif adalah hubungan yang saling membutuhkan. Saling ketergantungan positif menuntut adanya interaksi promotif yang memungkinkan sesama siswa saling memberikan motivasi untuk meraih hasil yang optimal, yang dicapai melalui: a. saling ketergantungan pencapaian tujuan, b. saling ketergantungan dalam menyelesaikan tugas, c. saling ketergantungan bahan atau sumber belajar, d. saling ketergantungan peran, dan saling ketergantungan hadiah.

2. Interaksi Tatap Muka

Interaksi tatap muka terwujud dengan adanya dialog yang dilakukan bukan hanya antara siswa dengan guru tetapi juga antara siswa dengan siswa. Interaksi semacam itu memungkinkan para siswa dapat saling menjadi sumber belajar. Fakta seperti itu dibutuhkan karena ada siswa yang merasa lebih mudah belajar dari sesama siswa.

3. Akuntabilitas Individual

Pembelajaran kooperatif terwujud dalam bentuk belajar kelompok. Meskipun demikian penilaian tertuju pada penguasaan materi belajar secara individual. Hasil penilaian pada kemampuan individual tersebut selanjutnya disampaikan guru kepada kelompok agar semua anggota kelompok mengetahui siapa diantara mereka yang memerlukan bantuan dan yang dapat memberikan bantuan.

4. Keterampilan Menjalin Hubungan antar Pribadi

Dalam pembelajaran kooperatif keterampilan menjalin hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) dikembangkan. Pengembangan kemampuan tersebut dilakukan dengan melatih siswa untuk bersikap tenggang rasa, sopan, mengkritik ide bukan pribadi, tidak mendominasi pembicaraan, menghargai pendapat orang lain, dst.

E. Dasar Pertimbangan Pelaksanaan Pembelajaran Kooperatif

Pelaksanaan model pembelajaran kooperatif didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu (Sanjaya, 2009: 243), yaitu sebagai berikut.

1. Guru menekankan pentingnya usaha kolektif di samping usaha individudual dalam belajar.

2. Guru menghendaki seluruh siswa berhasil dalam belajar.

3. Guru ingin menunjukkan pada siswa bahwa siswa dapat belajar dari temannya,

4. Guru ingin mengembangkan kemampuan komunikasi siswa.

5. Guru menghendaki motivasi dan partisipasi siswa dalam belajar meningkat

6. Guru menghendaki berkembangnya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan menemukan berbagai solusi pemecahan.

F. Variasi-variasi dalam Model Pembelajaran Kooperatif

Ada 4 metode yang dapat dilaksanakan oleh guru dalam pelaksanaan model pembelajaran kooperatif (Trianto, 2007: 49). Keempat metode dimaksud adalah: metode STAD, Metode Jigsaw, Metode GI (group investigation), dan metode struktural.

1. Metode STAD

a. Karakteristik Metode STAD

STAD kependekan dari Student Team Achievement Divisions. Metode ini dikembangkan oleh Robert Slavin dkk. dari Universitas John Hopkins. Dalam metode STAD guru membagi siswa suatu kelas menjadi beberapa kelompok kecil atau tim belajar dengan jumlah anggota setiap kelompok 4 atau 5 orang siswa secara heterogen. Setiap anggota tim menggunakan lembar kerja akademik dan saling membantu untuk menguasai materi ajar melalui Tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota tim. Secara individual atau kelompok setiap satu atau dua minggu dilakukan evaluasi oleh guru untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap materi yang telah mereka pelajari. Setelah itu seluru siswa dalam kelas tersebut diberikan materi tes tentang materi ajar yang telah mereka pelajari. Pada saat menjalani tes mereka tidak diperbolehkan saling membantu.

b. Sintaks Metode STAD

Sintaks metode STAD terdiri atas 6 fase (Trianto, 2007: 54), yaitu sebagai berikut ini.

Fase ke-1: menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi siswa untuk aktif belajar.

Fase ke-2: menyajikan materi ajar kepada siswa dengan jalan mendemonstrasikan atau melalui bahan bacaan.

Fase ke-3: menjelaskan kepada siswa bagaimana cara membentuk kelompok belajar .

Fase ke-4: membimbing setiap kelompok belajar untuk belajar dan bekerja.

Fase ke-5: mengevaluasi hasil belajar dan kerja masing-masing kelompok.

Fase ke-6: Guru memberikan penghargaan pada para siswa baik sebagai individu maupun kelompok, baik karena usaha yang telah mereka lakukan maupun karena hasil yang telah meerka capai.

2. Metode Jigsaw

a. Karakteristik Metode Jigsaw

Metode Jigsaw dikembangkan dan diuji oleh Elliot Aronson dan rekan-rekan sejawatnya (Arends, 2008: 13). Dalam metode Jigsaw para siswa dari suatu kelas dikelompokkan menjadi beberapa tim belajar yang beranggotakan 5 atau 6 orang secara heterogen. Guru memberikan bahan ajar dalam bentuk teks kepada setiap kelompok dan setiap siswa dalam satu kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari satu porsi materinya. Para anggota dari tim-tim yang berbeda tetapi membahas topik yang sama bertemu untuk belajar dan saling membantu dalam mempelajari topic tersebut. Kelompok semacam ini dalam metode Jigsaw disebut kelompok ahli (expert group).

b. Sintaks metode Jigsaw

Pelaksanaan metode Jigsaw terdiri dari 6 langkah kegiatan (Trianto, 2007: 56-57) sebagai berikut.

Fase ke-1: Guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok belajar. Setiap kelompok beranggotakan 5 – 6 orang siswa.

Fase ke-2: Guru memberikan materi ajar dalam bentuk teks yang telah terbagi menjadi beberapa sub materi untuk dipelajari secara khusus oleh setiap anggota kelompok.

Fase ke-3: Semua kelompok mempelajari materi ajar yang telah diberikan oleh guru.

Fase ke-4: Kelompok ahli bertemu dan membahas topik materi yang menjadi tanggung jawabnya.

Fase ke-5 : Anggota kelompok ahli kembali ke kelompok asal masing-masing (home teams) untuk membantu kelompoknya.

Fase ke-6: Guru mengevaluasi hasil belajar siswa secara individual.

3. Metode Invenstigasi Kelompok (Group Investigation)

a. Karakteristik metode investigasi kelompok

Metode investigasi kelompok dirancang oleh Herbert Thalen dan metode pembelajaran kooperatif yang paling kompleks dan paling sulit diimplementasikan (Arends, 2008: 14). Kompleksitas dan sulitnya implementasi metode ini dikarenakan keterlibatan siswa dalam merencanakan topik-topik materi ajar maupun cara mempelajarinya melalui investigasi. Pada metode investigasi kelompok, guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok secara heterogen yang masing-masing beranggota 5 atau 6 orang siswa. Siswa memilih topik-topik tertentu untuk dipelajari, melakukan investigasi mendalam terhadap sub-sub topik yang dipilih kemudian menyiapkan dan mempresentasikan hasil belajar di kelas.

b. Sintaks metode investigasi kelompok

Sharan dkk. sebagaimana pendapatnya dikutip Arends (2008: 14) mendeskripsikan 6 langkah metode investigasi kelompok sebagai berikut.

Fase ke-1: pemilihan topik

Siswa memilih sub-sub topik tertentu dalam bidang permasalahan umum yang biasanya dibahas oleh guru. Selanjutnya siswa diorganisasikan ke dalam kelompok-kelompok kecil yang beranggota 5 atau 6 orang.

Fase ke-2: perencanaan kooperatif

Siswa dan guru merencanakan prosedur pembelajaran, tugas dan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan sub-sub topik yang telah dipilih.

Fase ke-3: implementasi

Siswa melaksanakan rencana yang diformulasikan pada fase ke-2.

Fase ke-4: analisis dan sintesis

Sisma menganalisis dan mensistesis informasi yang diperoleh pada kegiatan fase ke-3.

Fase ke-5: presentasi hasil akhir

Beberapa atau semua kelompok melakukan presentasi di kelas tentang topik-topik yang mereka pelajari di bawah koordinasi guru.

Fase ke-6: evaluasi

Siswa dan guru mengevaluasi kontribusi masing-masing kelompok terhadap kerja kelas secara keseluruhan. Evaluasi dapat dilakukan secara individual, kelompok, atau keduanya.

4. Metode Struktural

a. Karakteristik metode struktural

Metode struktural dikembangkan oleh Spencer Kagan dkk. Meskipun memiliki banyak persamaan dengan metode lainnya, metode structural menekankan penggunaan struktur tertent yang dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa. Dua macam struktur yang dapat dipilih guru untuk melaksanakan metode structural adalah think-pair-share dan numbered head together.

1) Sintaks think-pair-share

Pelaksanaan think-pair-share terdiri 3 langkah : thinking, pairing, dan sharing (Arends, 2008: 15-16).

Langkah pertama: thinking (berpikir)

Guru mengajukan sebuah pertanyaan yang terkait dengan materi ajar dan memberikan waktu satu menit kepada siswa untuk memikirkan sendiri jawabannya.

Langkah kedua: pairing (berpasangan)

Guru meminta siswa untuk mendiskusikan secara berpasangan tentang apa yang siswa pikiran

Langkah ketiga: sharing (berbagi)

Guru meminta pasangan-pasangan siswa tersebut untuk berbagi hasil diskusinya dengan seluruh siswa di kelas.

2) Numbered heads together

Sintaks numbered heads together terdiri dari tiga langkah (Arends, 2008: 16), yaitu sebagai berikut.

Langkah pertama: numbering (penomoran)

Guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 3 sampai 5 orang dan member setiap anggota kelompok tersebut nomor secara berurutan.

Langkah kedua: questioning (pengajuan pertanyaan)

Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan bias bervariasi.

Langkah ketiga: head together (berpikir bersama)

Para siswa berpikir bersama untuk menemukan jawaban atas pertanyaan dari gurunya.

Langkah keempat: answering (pemberian jawaban)

Guru menyebut satu nomor dan para siswa dari setiap kelompok yang nomornya sama dengan nomor yang disebutkan guru mengangkat tangannya dan memberikan jawaban di depan kelas.

DAFTAR PUSTAKA

Arends, Richard I. (2008) Learning to Teach: Belajar untuk Mengajar. Buku Dua. (Penterjemah: Helly Prayitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurhadi dan Senduk, Agus Gerrad. (2003) Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.

Sanjaya, Wina. (2009) Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.

Trianto. (2007) Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.